TunjukArah - Blog

Mau Hancurkan Tim? Sering Aja Marah-Marah

Diterbitkan pada: 31 May 2025 Kategori: Blog
Mau Hancurkan Tim? Sering Aja Marah-Marah

Nggak perlu strategi canggih buat bikin tim bubar. Satu cara yang pasti ampuh: sering-sering aja marah-marah. Mau kerjaan telat, mau hasil kurang maksimal, atau bahkan cuma hal kecil—asal dimarahin aja terus. Hasilnya? Bukan tim yang disiplin, tapi tim yang pelan-pelan patah semangat.


Masih banyak pemimpin yang nganggep marah itu tanda ketegasan. Padahal, marah itu emosional. Tegas itu rasional dan solutif. Kita bahas yuk kenapa gaya mimpin yang gampang meledak justru lebih banyak ngancurin daripada ngebangun.



1. Tim Butuh Arahan, Bukan Ledakan


Tim itu butuh kejelasan, bukan kekerasan suara. Marah bisa bikin orang patuh… tapi cuma sementara. Habis itu? Mereka kerja dengan takut, bukan dengan semangat.


📚 Menurut jurnal “The Impact of Toxic Leadership on Employee Performance” (Khan et al., 2022), gaya kepemimpinan agresif secara verbal menurunkan motivasi dan produktivitas tim. Hal ini juga meningkatkan kecemasan jangka panjang di lingkungan kerja.


Jadi kalau kamu mikir marah itu bikin kerjaan lebih cepat selesai, faktanya justru sebaliknya. Orang jadi takut berinovasi, takut ambil inisiatif, dan akhirnya kerja seadanya.



2. Suasana Takut = Komunikasi Mandek


Begitu pemimpin sering marah, semua orang mulai pasang tembok. Males laporan, takut diskusi, akhirnya kerjaan jalan tanpa kontrol dan tanpa umpan balik.


📌 Menurut laporan Klob.id, salah satu efek paling umum dari pemimpin toxic adalah “komunikasi yang macet karena bawahan takut salah bicara.”


Ironisnya, pemimpin malah makin frustasi karena ngerasa nggak dikasih tahu masalahnya. Padahal, dia sendiri yang bikin orang tutup mulut.



3. Lingkungan Toxic = Tim Rontok Perlahan


Lingkungan kerja yang penuh tekanan nggak cuma bikin target gagal, tapi juga ngancam kesehatan mental tim.


📚 Data dari Harvard Business Review menyebut, 76% pekerja yang punya atasan temperamental mengalami penurunan kepercayaan diri, dan lebih dari 50% mempertimbangkan resign hanya karena atmosfer kerja yang negatif.


Jadi kalau kamu lihat orang-orang dalam tim mulai pasif, banyak yang minta cuti, atau resign diam-diam... mungkin bukan karena kerjaannya berat. Tapi karena mereka udah capek secara emosional.



4. Contoh Nyata: Marah Bisa Jadi Bumerang


🔥 Travis Kalanick (mantan CEO Uber)


Dikenal brilian, tapi juga dikenal temperamental. Salah satu insiden viral adalah saat Travis memarahi sopir Uber yang mengkritik kebijakan perusahaan. Hasilnya?


- Reputasi perusahaan jeblok

- Tim internal penuh konflik

  • - Karyawan senior keluar satu-satu
  • - Travis akhirnya dipaksa mundur oleh dewan

  • 📌 Sumber: The New York Times, Forbes (2017)


  • 6. Tegas Itu Perlu, Tapi Harus Ada Arahnya

  • Tegas = punya standar, konsisten, dan adil.

  • Marah-marah = ledakan tanpa arah, sering karena emosi sesaat.

  • 📚 Menurut Goleman dalam jurnal “The Role of Emotional Intelligence in Leadership” (2004), pemimpin yang bisa mengatur emosinya akan lebih dipercaya dan dihormati. Mereka menciptakan iklim kerja yang aman secara psikologis dan produktif secara profesional.


  • ✨ Penutup: Mau Jadi Pemimpin Hebat? Belajar Ngatur Emosi

  • Refleksi penting:
  • Apakah kamu marah untuk membimbing, atau marah karena frustrasi pribadi?

  • Marah boleh. Tapi kalau jadi kebiasaan? Tim-mu bakal kabur satu-satu.

  • Tegas itu perlu. Tapi harus dibarengi empati, komunikasi, dan konsistensi.

  • Kalau kamu bisa mimpin dengan kepala dingin dan hati yang stabil, percayalah—bukan cuma kerjaan yang selesai, tapi orang-orang juga akan tumbuh.
Sumber:
  • Khan, A. A., et al. (2022). The Impact of Toxic Leadership on Employee Performance. Frontiers in Psychology.
  • Goleman, D. (2004). The Role of Emotional Intelligence in Leadership. Harvard Business Review.
  • Klob.id. (2022). Toxic Leadership di Tempat Kerja.
  • Kompas.com. (2020–2023). Berita dan liputan tentang gaya kepemimpinan Presiden Jokowi.
  • The New York Times, Forbes. (2017). Uber’s Downfall: Inside the Drama of a CEO’s Exit.
Bagikan: